![]() |
encrypted-tbn0.gstatic.com |
*cerpen ini juga dimuat dalam antologi cerpen 'Romantic Story' oleh penerbit ECA Publishing
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Karya: Dita
Rosa Utami
Alina dan Aldo sudah pacaran
hampir sepuluh tahun. Selama itu tidak ada masalah yang berarti dalam hubungan
mereka. Dua sejoli itu sama-sama pekerja keras untuk karier masing-masing, sehingga
mereka mengesampingkan pernikahan. Sampai akhirnya Alina mulai memikirkan
kelanjutan hubungan mereka, mengingat usianya sudah menginjak 28 tahun.
“Kita
akan menikah, Alina. Tapi bersabarlah,
semua butuh persiapan,” kata Aldo setelah gadisnya membahas soal pernikahan. Mereka tengah makan siang di sebuah kafe.
semua butuh persiapan,” kata Aldo setelah gadisnya membahas soal pernikahan. Mereka tengah makan siang di sebuah kafe.
“Kapan
lagi? Aku ini sudah hampir kepala tiga. Aku sudah tua.”
“Aku
juga hampir kepala tiga, Alina.” Timpal Aldo.
“Tapi
aku perempuan!”
Aldo
menghela napas. “Baik sayang. Aku belum memberitahumu sebelumnya, kali ini akan
kuberitahu kau tentang rencanaku. Aku…mendapat beasiswa magister di Holland.
Tolong tunggu aku sampai kembali, aku akan melamarmu setelah itu.”
Alina
menggigit bibirnya geram, “Menunggumu? Kau suruh aku menunggu sampai aku tua!
Apakah kau benar mencintaiku, Aldo?”
Aldo
menggenggam tangan kekasihnya. “Kenapa kau meragukan soal itu, aku sangat
mencintaimu, sayang.”
“Kau
tahu Aldo,” nada suaranya merendah. “Papa menginginkan aku menikah tahun ini
juga. Jika kau tidak mau menikahiku tahun ini, maka aku tetap menikah, tapi
dengan pria lain pilihan ayahku.”
“Apa?”
Aldo tertegun. “Tidak boleh, Alina!”
“Makanya,
cepatlah nikahi aku!”
Aldo
menarik tangannya. “Ta…tapi, sayang…”
“Sudahlah!”
tandas Alina. “Kau tidak pernah serius dengan hubungan kita. Tidak usah
menghubungiku lagi!” Gadis itu beranjak pergi meninggalkan kekasihnya.
***
“Dia
menyuruhmu menunggu lagi, Alina? Tidak usah harapkan lagi laki-laki seperti
itu. Kau putuskan dia!” tegas Pak Broto, Papanya Alina.
“Tapi
Pa, tidak bisakah kita menunggu Aldo menyelesaikan pendidikannya? Dia janji
akan melamarku setelah itu. Lagipula aku hanya perlu menunggu dua tahun lagi.”
“Hanya
dua tahun katamu? Tidak boleh! Apa kau ingin melihat Papamu tewas sebelum
melihat putrinya menikah.”
“Bukan
begitu Papa.”
“Sudahlah!
Pokoknya kau menikah dengan Rendi.”
Alina
menghela napas pasrah. Sudah lebih dari seminggu Aldo menghilang tanpa kabar.
Nomornya juga sulit dihubungi. Ia tak percaya Aldo benar-benar enggan menghubunginya
lagi.
Air
mata Alina mengalir. Sepuluh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Ia tak percaya
Aldo tega melakukan ini. Apakah Aldo menganggap enteng masa-masa sepuluh tahun
ini? Haruskah sepuluh tahun berakhir begitu saja? Alina memang kecewa, tapi
bagaimanapun gadis bertubuh sintal itu sudah terlalu mengenal Aldo, dia sangat
mencintai pria itu.
Tiba-tiba
Aldo mengiriminya messenger. Alina
segera membacanya.
“Aku
minta maaf karena menghilang begitu saja, sayang. Bisakah kita bertemu di
tempat favorit?”
Alina
tersenyum, ia menghapus air matanya. Gadis itu kemudian memilih pakaian dan
berdandan dengan cantik. Ia segera mengunjungi tampat favorit mereka. Itu
adalah jembatan berbentuk bulan sabit di taman kota. Di sanalah Aldo pertama
kali menyatakan cinta.
Alina
menunggu Aldo di tempat favorit mereka dengan senyum sumringah dan jantung yang
berdebar-debar. Sudah lama ia tidak merasakan perasaan seperti ini. Kejutan apa
yang akan diberikan Aldo?
Tak
lama, Alina menerima messenger lagi.
“Maaf, sayang. Mungkin aku akan terlambat karena ada pekerjaan tambahan. Tolong
tunggu aku sekitar setengah jam.”
Alina
mendengus kesal. Tapi, baiklah, dia akan menunggu. Sementara itu langit mulai
mendung.
Alina
mendapat pesan lagi. “Maafkan aku, sayang. Sepertinya kita tidak bisa bertemu
sekarang, aku masih ada pekerjaan. Kau sebaiknya pulang saja.”
Gadis
itu meremas ponselnya dengan geram. Mulutnya merutuki pria itu, Aldo tidak
pernah ingkar janji seperti ini, kenapa dia lakukan itu sekarang? Hujan pun
turun, Alina pergi mencari taksi untuk mengantarnya pulang.
Taksi
berhenti di depan rumahnya. Karena hujan masih turun, Alina harus berlari cepat
menuju teras. Sayangnya, ia sudah basah kuyup. Gadis itu memutar kunci rumah
dan membuka pintu.
Segala
keresahan seketika memudar. Alina menutup mulutnya yang menganga, keluarga
besar dia dan Aldo ada di rumahnya. Mereka bersorak menyambut kedatangan Alina.
Tiba-tiba sebuah spanduk besar terbentang, di sana tertulis ‘Will You Marry Me?’
Dari
kerumunan orang, Aldo keluar dengan setelan rapi dan setangkai mawar di tangannya. Ia
memberikan mawar itu pada Alina. Alina menerimanya, dan seketika sebuah cincin
jatuh dari pangkal tangkai mawar itu.
“Menikahlah
denganku, Alina!”
Ia
sejurus memandang laki-laki di hadapannya. Matanya berkaca-kaca. Alina lantas
mendekap erat kekasihnya. “Iya, Aldo.”
Semua
orang di ruangan itu bersorak dan bertepuk tangan. Aldo memasangkan cincin di
jemari Alina. Ia kemudian berbisik, “Aku menyuruhmu keluar agar bisa menyiapkan
semua ini. Dan soal rencana melanjutkan S2, aku tak pernah dapat beasiswa.” Ia
terkikik.
“Apa!!”
TAMAT