sumber foto: http://3.bp.blogspot.com/
Jika mendengar kata ‘puisi’, bayanganmu pasti tertuju pada kata-kata kaya makna pengaduk emosi. Seperti menikmati secangkir kopi, mau pilih menyeduh dengan air panas, atau mencampurkan es batu yang segar. Pada intinya, tujuannya
tetap sebagai pelepas dahaga. Begitu pun dengan puisi, mau dinikmati dengan cara dibaca atau didengar, nikmatnya sama saja.
Seperti pula meracik kopi
yang enak, puisi pun bisa diracik. Bahan-bahannya terdiri atas diksi, gaya
bahasa dan majas, rima, irama, dan tipografi. Lalu, seperti lagi kopi yang
enak hadir dari tangan telaten si
peraciknya, puisi yang indah pun datang dari tangan dingin penyairnya. Tidak
semua orang terampil merangkai kata. Mereka bisa karena terbiasa, atau memang
sudah dianugerahkan bakat oleh sang pencipta.
Namun demikian, yang
namanya keterampilan tetap bisa diasah. Tergantung pada kemauan dari orang itu
sendiri. Berikut ini adalah beberapa orang siswa saya dari SMA N 2 Kota Sungai
Penuh, kelas XU1 dan XU2 yang menurut saya pribadi memiliki keterampilan baik
dalam merangkai puisi. Soal kritik dan saran, biarkan yang lebih senior
berkomentar..
HUJAN
Dina Tri Utami
Hujan kali ini begitu
berbeda
Berbeda karena di ujung
malam
Sepi mencekam bosan
Bermain untuk membutakan
mata
Aku masih di sini!
Masih menjadi beku yang
tak hangat
Terasa sesak tatkala
bertatap
Mungkin dingin menjadi
penawar rindu
Di sini hujan kasih
Berbalut selimut
menghangat raga
Dingin terasa sampai ke
tangan
Merambah mencari celah
AYAH
Sena Pebrina
Ayah..
Lirih rindu bergejolak
menepi pada malam sunyi
Pedih perih tiada henti
Aku tak tahan menahan
Ayah..
Melodiku mesra, tangis
menggema kala penaku menulis untukmu
Tangis menjadi bumbu dalam
syairku
Rasanya sakit perih,
tangis tak pernah ada jawabnya
Luka memang kurasakan
Hanya mampu ungkap rindu
melalui batang puisiku
Diamku adalah tangis
Senyumku adalah sedih
Puisiku adalah rindu
Tangisan Hati
M. Andrian Efrianto
Sepi sedih sendiri
Tiada satu pun suara yang
keluar dariku, kecuali hati yang menangis
Tak ada tawa terpancarkan,
melainkan duka yang digambarkan
Mataku mulai mengerling
berpasan dengan duka yang tergambar
Tiada ranting kebahagiaan
lagi
Hanya ada daun kesedihan
PUTIH
Fatimah Azzahra
Hirau penuh ketakutan
beriring dengan sepantasnya
Aku yang tak tahu menahu
Semua terasa berliku
Aku yang hilang akan arah
Bersemai dalam kalutnya
waktu
Seketika bermimpi
Terbangun oleh masa SMA
AMARAH
Farhan Prasetyo
Mentari menyengat bak api
membara
Kurasa tubuhku menjadi
kayu
Samudera mendidih putus
asa
Bumi kupijak bak neraka
Semua itu, kan terhapus
oleh datangnya hujan
Sehingga gurun menjadi
hutan
DARAH, KERINGAT, DAN AIRMATA
Andini Veronica
Darahku, keringat, dan
airmata untuk tarian terakhirku
Ambil semuanya.
Darahku, keringat, dan
airmata untuk napas dinginku
Ambil semuanya.
Darahku, keringat, dan
airmata.
Tapi sayapmu adalah ifrit
Bunuh aku! Lakukan dengan
kasar!
Maka ini tidak akan
menyakitiku lagi. Tentang wiski di
tenggorokanku, itu adalah dirimu.
Aku bodoh
Aku kecanduan pada
penjara, yang disebut dirimu.
Aku sengaja minum dari
tempat beracun. Aku bersumpah, ini menyakitkan. Jadi, tutup mataku erat-erat.
Darahku, keringatku, dan
airmata. Ambil semuanya.
SEPI
Taaja Meisafatira Ardia
Senja ini menyisakan
butiran air hujan
Menimbulkan pelangi yang
hampir hilang ditelan petang
Perlahan sang dewi malam
bersama bintang mulai muncul
Melengkapi lukisan malam.
Hembusan angin berbisik ke
telinga
Menghantar bayang pelipur
lara
Berdiri menatap cakrawala
Tersenyum melawan kesepian
Buktikan pada dunia tak
selamanya sepi membunuh jiwa
PERKEMBANGAN
Fakri Muhammad Sendi
Histori berjalan dengan
mulus dan mengalir
Mengesahkan kisah
perkembangan zaman
Mulai dari sepeda hingga
mobil mewah
Tak murah tapi tahan lama
Cemari kotaku dengan asap
perdamaian
Bukan kesombongan
Hembusan debu cukup terasa
Udara panas makin menggila
Pohon di pinggir jalan tak
ada
Seperti tinggal di neraka.
Dunia
SEBUAH PENGORBANAN
Afri Yanti
Titik peluh di sekujur
tubuh
Membasahi bagaikan hujan
Dengan tiada mengenal
lelah
Dengan tiada mengenal
letih
Engkau bertempur bagaikan
api
Engkau menyerang bagaikan
kilat
Luka tergores tak
kauhiraukan
Ibu pertiwi yang kau
pikirkan
Di sini..
Kau t’lah ukirkan
Sebuah pengorbanan kan
abadi
Hidup diri tak berarti
Tanpa sebuah pengorbanan
TAK SEBURUK POHON KAKTUS
Rillo Mahendra
Hari-hari t’lah berlalu
Berjalan rindu tentang
rembulan
Kutepis duri pohon kaktus
Dan kubalas dengan melati.
Terus tumbuh dan berbunga
meskipun duri ramai menghadang
Dan kini melati itu sadar
Bahwa kaktus tak sesakit
durinya.
Kini melati mengetahui
Bahwa ia tak sejalan
Tapi ia tetap berkata
Bahwa aku cinta padanya
KHIANAT
Qori Maharani
Entah semua itu dirimu
Tak ada kepercayaan lagi
Semua telah sirna
Bahai asap rokok hilang di
gelapnya malam
Indah memang indah
Cantik tapi tak menarik
Semua telah lenyap
Bagai mencari awan dalam
kegelapan
Rasa yang pernah ada
Kubunuh secepatnya
Meski semua hanya sia-sia
Seperti peniti di tumpukan
jerami