karya: Dita Rosa Utami
Cerpen ini pernah dimuat dalam buku antologi cerpen Friendzone jilid 1 oleh Penerbit Inrilista
_____________________________________________________________________
Canis
menegak secangkir espresso berwarna
hitam pekat, lidahnya sedikit terbakar oleh uap panas kopi. Di luar sana hujan
turun deras, kantor guru pun masih sepi. Hanya ada dia dan seorang office boy sekolah yang datang pagi-pagi
untuk membuat kopi.
Seorang
pria masuk kantor dengan terbirit-birit. Hampir seluruh tubuhnya basah kuyup. Pak guru bernama Adrian Dwitama duduk di
samping Canis.
“Belum
ada yang datang, Nis?” tanya Adrian sembari melepas jaket kulitnya.
Adrian
mengangguk, lantas menyeruput sedikit.
Adrian
kepada Canis, atau Canis kepada Adrian, mereka adalah teman lama. Ya, teman
semasa SMA, berpisah usai lulus SMA, lalu bertemu lagi dalam profesi yang sama.
Ini takdir? Canis sempat mempercayai bahwa ini takdir sebelum dia mengetahui suatu
hal.
Seminggu
lalu kala hujan lebat juga turun, ketika mereka pulang bersama dengan mobil
Adrian. Itu sebelum mobil Adrian masuk bengkel setelah tergores pembatas jalan.
Beberapa hari ini Adrian pergi kerja meminjam motor adiknya.
Canis
baru dua bulan mengajar di SMA ini. Adrian menjadi pemandu yang hebat dalam
profesi barunya. Dia mitra yang baik, dan Canis menyukainya—menyukai kebaikannya
atau menyukai orangnya? Mungkin dua-duanya.
“Kamu
sudah menikah?” Canis melirik jemari Adrian di setiran mobil.
“Apa?”
“Cincin
warna metalik itu!”
“Ah,
ini. Bukan, aku baru tunangan.”
Gadis
itu tersenyum (yang sepertinya agak berat). “Kapan?”
“Seminggu
sebelum kamu ngajar.”
Canis
mengangguk, kemudian memandang jendela mobil dan menggoreskan telunjuknya di
uap air yang menempeli kaca. “Siapa gadis itu?”
“Anak
dari mitra kerja Ayah. Kami dijodohkan.”
Canis
manggut-manggut. “Kapan kalian menikah?”
Adrian
mengangkat bahunya. “Mungkin dalam beberapa bulan ke depan.”
Canis
berhenti melamun setelah Adrian menyentil hidungnya. Pria itu tampak tertawa
puas. Canis menanggapinya dengan datar, membuat Adrian akhirnya berkerut. Satu
per satu majelis guru pun telah hadir di kantor.
Canis
merogoh tas kerjanya, lantas ia berikan amplop putih pada Adrian. “Tolong
berikan pada kepala sekolah! Aku harus pergi sekarang.” Ia buru-buru
meninggalkan meja.
Adrian
segera menyusul Canis yang berjalan cepat. Hujan lebat di luar berganti
gerimis, para pelajar putih abu-abu juga sudah mulai berdatangan. Mereka
memakai payung atau mengenakkan jaket tebal.
Adrian
berhasil meraih tangan wanita itu sebelum ia masuk ke mobil di parkiran—mobil
yang baru beberapa hari ini menemani Canis pergi mengajar. Canis memandang
lirih, mengisyaratkan Adrian agar segera melepas tangannya.
Pria
itu cepat memutar tubuhnya menuju jok mobil sebelah kanan. Ia menarik Canis
agar masuk ke mobil, lalu menutup pintu yang menganga.
“Kenapa
kamu ingin aku menyerahkan surat pengunduran dirimu? Kenapa kamu ingin
mengundurkan diri?” tanya Adrian tegas—semburatnya begitu jelas. Ia bahkan
sudah tahu itu surat pengunduran diri tanpa membuka amplopnya.
“Karena
kamu mitra kerja paling dekat denganku di tempat ini, kita juga sudah lama kenal.
Dan kenapa aku ingin mengundurkan diri…” Canis menunduk, “Ada beberapa
masalah.”
“Apa
masalahmu? Kamu bisa ceritakan padaku. Bukankah kita ini teman? Selama beberapa
bulan ini, bukankah kita mitra kerja yang cocok? Kita melakukan banyak hal
dengan sangat baik.” mata dan alis Adrian semakin garang.
“Tolong turunlah dari mobilku, Adrian!”
pintanya. Adrian menggeleng.
Canis
menghela napas berat. “Aku benar-benar tidak bisa melanjutkan pekerjaan ini.
Ini masalah bagiku. Bukan karena tidak menyukai pekerjaannya, bukan juga karena
siswa bandel atau mitra kerja menyebalkan, tapi…” Canis menggantung kalimatnya
selama beberapa detik, “Maaf Adrian, aku rasa aku tidak bisa terus di sisimu
dengan keadaanku yang demikian ini.”
“Keadaan
demikian yang bagaimana? Tolong perjelas kata-katamu!”
“Keadaan
aku sebagai mitra kerjamu, sementara keadaan yang kuinginkan lebih dari sekadar
itu. Adrian… aku harap kamu tidak menertawakan atau membenciku setelah
mendengar ini. Aku mencintaimu sejak lama, Adrian. Aku tidak bisa berada
terlalu dekat dengan pria yang kucintai, sedangkan kau selamanya adalah
bayang-bayang bagiku.”
Terlihat
jelas rona ketidakpercayaan di wajah Adrian.
Canis
melanjutkan. “Kau tidak perlu merasa bersalah karena aku meninggalkan pekerjaan
ini. Dengan fisikku yang lumayan oke ini,” dia tertawa, “mungkin tidak terlalu
sulit untuk menemukan pekerjaan baru. Lalu soal pernikahanmu, jangan khawatir! Aku
akan datang. Jangan lupa kirimi undangan pernikahanmu!”
Air
mata Canis menetes begitu Adrian memeluknya tiba-tiba. Pria itu memeluknya
dengan erat.
“Aku
juga mencintaimu, Canis! Kau tidak perlu khawatir, karena aku hanya akan
menikahi wanita yang kucintai.”
Canis
tersenyum sambil terus menguraikan kristal bening. “Kau tidak mencintai
tunanganmu?”
Adrian
melepas pelukan mereka, ia memandang lekat bola mata indah di depannya,
kemudian menggenggam jemari lentik sang hawa. “Aku pernah bilang kalau kami
dijodohkan, bukan berarti aku juga mencintainya. Kaulah wanita yang kucintai
sejak masa sekolah. Aku benar-benar bahagia ketika kau hadir kembali di tempat
kerjaku, aku juga bahagia saat kau bilang juga mencintaiku. Maaf, membuatmu
menunggu, Canis.”
Canis tersenyum lega. Pria itu lantas mencium dahinya
dengan lembut, menikmati cinta yang mereka inginkan. Sementara di luar sana hujan
deras kembali mengguyur mobil warna metalik itu.
selesai