Label

Selasa, 15 September 2015

Cincin Warna Metalik


karya: Dita Rosa Utami
Cerpen ini pernah dimuat dalam buku antologi cerpen Friendzone jilid 1 oleh Penerbit Inrilista
_____________________________________________________________________


Canis menegak secangkir espresso berwarna hitam pekat, lidahnya sedikit terbakar oleh uap panas kopi. Di luar sana hujan turun deras, kantor guru pun masih sepi. Hanya ada dia dan seorang office boy sekolah yang datang pagi-pagi untuk membuat kopi.
Seorang pria masuk kantor dengan terbirit-birit. Hampir seluruh tubuhnya basah kuyup.  Pak guru bernama Adrian Dwitama duduk di samping Canis.
“Belum ada yang datang, Nis?” tanya Adrian sembari melepas jaket kulitnya.
Canis menggeleng. “Kita yang pertama.
Tuh minum kopinya selagi panas.”
Adrian mengangguk, lantas menyeruput sedikit.
Adrian kepada Canis, atau Canis kepada Adrian, mereka adalah teman lama. Ya, teman semasa SMA, berpisah usai lulus SMA, lalu bertemu lagi dalam profesi yang sama. Ini takdir? Canis sempat mempercayai bahwa ini takdir sebelum dia mengetahui suatu hal.
Seminggu lalu kala hujan lebat juga turun, ketika mereka pulang bersama dengan mobil Adrian. Itu sebelum mobil Adrian masuk bengkel setelah tergores pembatas jalan. Beberapa hari ini Adrian pergi kerja meminjam motor adiknya.
Canis baru dua bulan mengajar di SMA ini. Adrian menjadi pemandu yang hebat dalam profesi barunya. Dia mitra yang baik, dan Canis menyukainya—menyukai kebaikannya atau menyukai orangnya? Mungkin dua-duanya.
“Kamu sudah menikah?” Canis melirik jemari Adrian di setiran mobil.
“Apa?”
“Cincin warna metalik itu!”
“Ah, ini. Bukan, aku baru tunangan.”
Gadis itu tersenyum (yang sepertinya agak berat). “Kapan?”
“Seminggu sebelum kamu ngajar.”
Canis mengangguk, kemudian memandang jendela mobil dan menggoreskan telunjuknya di uap air yang menempeli kaca. “Siapa gadis itu?”
“Anak dari mitra kerja Ayah. Kami dijodohkan.”
Canis manggut-manggut. “Kapan kalian menikah?”
Adrian mengangkat bahunya. “Mungkin dalam beberapa bulan ke depan.”
Canis berhenti melamun setelah Adrian menyentil hidungnya. Pria itu tampak tertawa puas. Canis menanggapinya dengan datar, membuat Adrian akhirnya berkerut. Satu per satu majelis guru pun telah hadir di kantor.
Canis merogoh tas kerjanya, lantas ia berikan amplop putih pada Adrian. “Tolong berikan pada kepala sekolah! Aku harus pergi sekarang.” Ia buru-buru meninggalkan meja.
Adrian segera menyusul Canis yang berjalan cepat. Hujan lebat di luar berganti gerimis, para pelajar putih abu-abu juga sudah mulai berdatangan. Mereka memakai payung atau mengenakkan jaket tebal.
Adrian berhasil meraih tangan wanita itu sebelum ia masuk ke mobil di parkiran—mobil yang baru beberapa hari ini menemani Canis pergi mengajar. Canis memandang lirih, mengisyaratkan Adrian agar segera melepas tangannya.
Pria itu cepat memutar tubuhnya menuju jok mobil sebelah kanan. Ia menarik Canis agar masuk ke mobil, lalu menutup pintu yang menganga.
“Kenapa kamu ingin aku menyerahkan surat pengunduran dirimu? Kenapa kamu ingin mengundurkan diri?” tanya Adrian tegas—semburatnya begitu jelas. Ia bahkan sudah tahu itu surat pengunduran diri tanpa membuka amplopnya.
“Karena kamu mitra kerja paling dekat denganku di tempat ini, kita juga sudah lama kenal. Dan kenapa aku ingin mengundurkan diri…” Canis menunduk, “Ada beberapa masalah.”
“Apa masalahmu? Kamu bisa ceritakan padaku. Bukankah kita ini teman? Selama beberapa bulan ini, bukankah kita mitra kerja yang cocok? Kita melakukan banyak hal dengan sangat baik.” mata dan alis Adrian semakin garang.
 “Tolong turunlah dari mobilku, Adrian!” pintanya. Adrian menggeleng.
Canis menghela napas berat. “Aku benar-benar tidak bisa melanjutkan pekerjaan ini. Ini masalah bagiku. Bukan karena tidak menyukai pekerjaannya, bukan juga karena siswa bandel atau mitra kerja menyebalkan, tapi…” Canis menggantung kalimatnya selama beberapa detik, “Maaf Adrian, aku rasa aku tidak bisa terus di sisimu dengan keadaanku yang demikian ini.”
“Keadaan demikian yang bagaimana? Tolong perjelas kata-katamu!”
“Keadaan aku sebagai mitra kerjamu, sementara keadaan yang kuinginkan lebih dari sekadar itu. Adrian… aku harap kamu tidak menertawakan atau membenciku setelah mendengar ini. Aku mencintaimu sejak lama, Adrian. Aku tidak bisa berada terlalu dekat dengan pria yang kucintai, sedangkan kau selamanya adalah bayang-bayang bagiku.”
Terlihat jelas rona ketidakpercayaan di wajah Adrian.
Canis melanjutkan. “Kau tidak perlu merasa bersalah karena aku meninggalkan pekerjaan ini. Dengan fisikku yang lumayan oke ini,” dia tertawa, “mungkin tidak terlalu sulit untuk menemukan pekerjaan baru. Lalu soal pernikahanmu, jangan khawatir! Aku akan datang. Jangan lupa kirimi undangan pernikahanmu!”
Air mata Canis menetes begitu Adrian memeluknya tiba-tiba. Pria itu memeluknya dengan erat.
“Aku juga mencintaimu, Canis! Kau tidak perlu khawatir, karena aku hanya akan menikahi wanita yang kucintai.”
Canis tersenyum sambil terus menguraikan kristal bening. “Kau tidak mencintai tunanganmu?”
Adrian melepas pelukan mereka, ia memandang lekat bola mata indah di depannya, kemudian menggenggam jemari lentik sang hawa. “Aku pernah bilang kalau kami dijodohkan, bukan berarti aku juga mencintainya. Kaulah wanita yang kucintai sejak masa sekolah. Aku benar-benar bahagia ketika kau hadir kembali di tempat kerjaku, aku juga bahagia saat kau bilang juga mencintaiku. Maaf, membuatmu menunggu, Canis.”
 Canis tersenyum lega. Pria itu lantas mencium dahinya dengan lembut, menikmati cinta yang mereka inginkan. Sementara di luar sana hujan deras kembali mengguyur mobil warna metalik itu.
selesai